Cita-cita dan Pekerjaan

Suara garing dari gigitan rengginang jadi teman nulis aku kali ini. Sayangnya aku belum tahu mau bikin minum apa buat pasangannya. Kalian ada ide?

Kali ini aku mau nulis tentang cita-cita dan sebuah pekerjaan. Hal yang masih sangat objektif banget penilaiannya di Indonesia. Menurutku pribadi, cita-cita dan pekerjaan bisa aja gak usah sejalan.

Cita-cita waktu kecilku jadi dokter. Sama deh kayak anak kecil lainnya. Tapi gak jadi karena aku takut kalau lihat darah. Beralihlah mau jadi guru, karena kelihatan anggun, rapi, pokoknya nyenengin banget. Dan akhirnya pupus lagi gara-gara gak pede dengan kekurangan diri sendiri.

Seiring bertambahnya umur, cita-cita juga makin berubah dan makin mendekati apa yang kita suka. Pernah terlintas aku pengin jadi hakim/pengacara/jaksa. Kenapa? Karena waktu SMP nilai PPKN selalu sempurna. Whehee.. Selain itu selalu mencoba kritis dengan argumentasi orang lain. Dulu di kelas, pas masih pelajaran PPKN pasti ada aksi demo-demoan. Penontonnya ya temen sekelas aja. Inget banget dulu ada yang angkat tema tentang BBM, HIV Aids, sampai dengan kenakalan remaja. Gak heran secara mau tidak mau aku harus tampil agar mendapatkan nilai dari orasi. Masih sama seperti sebelumnya semua kandas. Walaupun aku udah mencoba menghafal beberapa pasal-pasal KUHP.

Aku sekolah di SMK Grafika, ambil jurusan produksi grafika. Jurusan yang mayoritas laki-laki dan jumlah perempuannya masih bisa dihitung dengan jari. Saat angkatanku, cukup lumayan banyak dari tahun sebelumnya–lima orang.

Gak heran kalo jadi sorotan mata dari anak jurusan lain. Banyak banget cibiran dari “anak buangan”, “NEMnya kecil” dan seterusnya. Lebih parahnya lagi kalau ada yang bilang “centil”. Well, kami sih super duper cuek. Tiga tahun tutup telinga dan mencoba berdamai dengan diri sendiri sambil berkata. “Jurusan ini gak buruk-buruk amat kok” Yaa .. Berdamai dengan diri sendiri adalah solusi terbaik ketimbang mengeluh pada keadaan. Alasan kami ada di jurusan yang mayoritas laki-laki ini pun tidak sepenuhnya benar atas prasangka mereka.

Tahun demi tahun akhirnya terlewati. Semua yang awalnya dibenci dan enggan banget untuk dijalani seperti misal: bongkar mesin, main tinta, dan banyak hal yang gak lumrah aja buat dijalani sama perempuan. Ada masa di mana aku suka banget sama bau cetakan yang fresh keluar dari mesin, seru kalo lagi bersihin screen sehabis nyablon, atau rumitnya menjahit sebuah buku. Terlalu kencang akan putus, terlalu renggang tidak rapi. Semuanya dijalani dengan keterpaksaan keikhlasan.

Timbullah khayalan aku tentang ‘gimana ya kalo punya percetakan sendiri?’. Bisnis yang gak akan mati kata guru-guru kejuruanku. Sempat berpikir, jadi pebisnis aja deh kayaknya enak banget. Dan kesempatan pun datang. Ada bisnis yang bisa dijalani sama anak sekolah macem aku. Apa? MLM. Yaps .. MLM!

Aku gak mau bahas MLMnya lebih lanjut karna akan panjang banget pembahasannya. Yang aku mau tekankan di sini, fighting aku saat itu. Pulang sekolah harus naik angkot, panas-panas buat ke kantor cabang. Sampai kantor cabang, antri-isi form-nunggu barang-pulang, sampai rumah sibuk sms dan nge-inbox temen-temen buat gabung dan follow up. Keesokan harinya bawa barang ke sekolahan dan kasihin ke temen, guru atau siapa deh yang waktu itu lagi pesen. Untungnya gak seberapa. Satu produk cuma 10-30 ribu. Itu pun kalo yang beli gak ngutang. Hahahaa

Baiklah, aku rasa ini sudah akan stabil. Sampai berjalan di tahun ke dua aku sibuk sama UN dan gak fokus lagi. Semua hancur kesana kemari dan mulai dari 0 lagi itu gengsi.

**

Pindah pulau.

Iya, setelah UN dan kelulusan, tepat satu minggu setelah wisuda aku berangkat ke pulau dewata. Bali. Katanya surga Indonesia. Hahaha.. Aku sangat penasaran dengan tradisinya, bahasanya, sampai mitos-mitosnya. Aku dan empat temanku yang berbeda jurusan bekerja di salah satu advertaising yang sedang maju-majunya. Kerjaan tidak pernah sepi selalu ramai klien. Karna kami amatir, anak baru lulus sekolah, kami banyak salah dan sering mendapat potongan gaji.

Sempat lagi berpikir, bagaimana cara mengelola sebuah perusahaan percetakan. Kalau sedang istirahat atau bagian divisiku senggang, aku main ke divisi lain untuk melihat pekerjaannya. Meski belum sepenuhnya kukuasai tapi setidaknya aku tahu. Senang sekali bisa bekerja di tempat itu, sampai tidak terasa tahun sudah berganti tahun. Aku pun jenuh, karena tidak ada tangga pencapaian yang membuatku semakin bergairah bekerja. Target dan omzet bulanan terlalu byazaaaa. Hehee.. Alhamdullillah, setiap bulan kami tembus target dan omzet tercapai.

Saat bosan, aku berencana keluar kerja. Tercapai. Namun ternyata langkahnya semakin terombang-ambing sampai di pertengahan tahun 2016 aku bertemu dengan temanku yang kebetulan juga menawarkan kerja di tempat kerjanya sebagai salah satu assisten pembimbing di sebuah bimbel.

Aku? Shock!

Apa tidak ada pekerjaan yang di belakang layar saja? Apa bisa kalau tidak usauh bertemu dengan anak kecil. Aku sangat ragu, namun kekuatan dalam diri sangat lantang menyuarakan: coba! Baik, aku coba, aku jalani ternyata aku mampu. Meskipun awalnya harus ada airmata.

Dan saat ini, bergelut dengan dunia anak-anak membuatku ketagihan, semacam kandungan nikotin. Bau tinta dan bunyi mesin pun sudah akrab di memoriku. Saat ini apa yang sedang ku kerjakan bukan lagi apa saja asal mendapatkan uang. Tapi, apa yang kukerjakan saat ini kuharap adalah yang ku impikan di masa yang akan mendatang.

Meskipun aku tahu, banyak sekali kontra-nya. Semua yang tidak sejalan dengan apa yang ku pelajari di sekolah, di kampus, namun masih lah bisa diserempetin dikit. Yang jelas, aku tidak pernah menyesal atas keputusan apa yang pernah kuambil dan tindakan apa yang pernah kulakukan. Nanti, 20 tahun dari sekarang, aku lebih menyesal saat aku tidak mengambil keputusan dan tidak bertindak tentang apa yang ada di kepalaku saat ini.

 

Kota Atlas, 04 Januari 2019

 

@denayuliettha

3 tanggapan untuk “Cita-cita dan Pekerjaan

Tinggalkan komentar